![]() |
Dumai – Aspirasi masyarakat RT 11 Kelurahan Bagan Besar, Kecamatan Bukit Kapur, Kota Dumai, untuk mewujudkan program Perhutanan Sosial sebagai jalan kemandirian pangan melalui pembentukan Kelompok Tani Hutan (KTH) Nusantara, masih menghadapi ganjalan serius. Konflik tenurial atas lahan yang diusulkan sebagai kawasan Hutan Kemasyarakatan (HKm) terus berlarut tanpa solusi yang jelas.
Program unggulan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tersebut terhambat karena tidak adanya restu dari Lurah setempat untuk menandatangani dokumen permohonan KTH Nusantara. Masyarakat pun bertanya-tanya, ada apa sebenarnya di balik sikap tersebut?
Lokasi usulan KTH Nusantara berada di RT 11 Jalan Bumi Harapan, yang menurut Keputusan Menteri LHK termasuk dalam wilayah Hutan Produksi Konversi (HPK). Namun, lahan tersebut diklaim oleh seseorang bernama Sdr. Misno, yang mengatasnamakan Kelompok Bumi Harapan dan mengaku memiliki Sertifikat Hak Milik (SHM) atas tanah seluas 1 x 2 kilometer tersebut.
Hingga saat ini, mediasi antara KTH Nusantara dan Sdr. Misno telah dilakukan sebanyak tiga kali—dimulai dari tingkat kelurahan hingga terakhir di Kantor Camat Bukit Kapur pada Mei 2025. Sayangnya, tak satu pun mediasi membuahkan keputusan tegas. Hal ini dinilai ironis dan mengecewakan, sebab semestinya aparat pemerintah memberikan keputusan yang pasti berdasarkan hukum yang berlaku, bukan justru menggantung nasib masyarakat.
Lebih parahnya lagi, dalam masa 4 bulan yang diberikan untuk pembuktian keabsahan klaim, diduga kuat terjadi transaksi jual beli lahan yang sejatinya merupakan kawasan hutan negara. Jika dugaan ini benar, maka tindakan tersebut jelas-jelas melanggar hukum pidana kehutanan, apalagi keabsahan SHM yang diklaim pun patut dipertanyakan.
Situasi ini tidak hanya menghambat program Perhutanan Sosial, tetapi juga menggagalkan cita-cita besar KTH Nusantara untuk mewujudkan kemandirian pangan sesuai Nawa Cita ke-8 Presiden Republik Indonesia. Sangat disayangkan, ketika masyarakat berinisiatif membangun desa melalui pola Agroforestry, justru dukungan dari aparat kelurahan tidak diberikan. Padahal, peran pemerintah seharusnya adalah sebagai fasilitator dan pemberi semangat, baik secara moril maupun materiil.
Kondisi ini menjadi alarm penting bagi semua pihak. Perlindungan kawasan hutan harus tetap dijaga, namun demikian pemanfaatannya untuk kesejahteraan masyarakat harus diakomodasi secara adil dan berkeadilan. Sudah saatnya kolaborasi dibangun antara pemerintah, masyarakat, dan pemangku kebijakan lainnya demi menciptakan model KTH yang mandiri, lestari, dan berdaya saing.
Rilis : DPD SPI Dumai
#PerhutananSosial #KemandirianPangan #KTHNusantara #KonflikTenurial #HutanUntukRakyat